My Most Extraordinary Garden

Most Extraordinary Garden
4-day boat trip to the inner jungle of Borneo.

Untuk menciptakan perubahan yang besar, kamu harus bersedia menerima kenyataan bahwa orang lain mungkin tak dapat memahami kamu untuk waktu yang sangat lama…”

Tiga malam sudah perahu kami menyusuri Sungai Sekonyer, menembus lebatnya hutan lindung pedalaman Borneo. Waktu yang cukup untuk menghirup inti sari mantra martir setiap pembawa perubahan. Seperti pepes ikan yang menyerap bumbu hingga ke setiap celah sisik dan remah-remah tulang terdalam.

Setiap beberapa puluh kilometer menuju ke hulu, warna air pun berubah. Demikian pula vegetasi hutan yang semakin merapat dan menjulang. Mulai dari kecokelatan berbuih seperti cappuccino di hilir dekat pelabuhan Kumai, sampai hitam jernih bagai air coca-cola di hulu dekat kawasan taman nasional. Kejernihannya bahkan mampu memperlihatkan batang-batang kayu yang memfosil di dasar sungai.

Pada setiap senja yang kami lewati, kebijaksanaan Buddha, Yesus Kristus dan Muhammad menjadi pengiring pergantian hari. Saya selalu membaca buku di anjungan perahu, ditemani redup matahari yang memerah. Cekikikan bekantan yang bergelantungan di dahan-dahan bakau kadang menjadi hiburan tersendiri. Kadang hanya burung elang yang mengangkasa, terlihat dari sela-sela pucuk pohon meranti. Selebihnya sunyi.

Pada keheningan yang dominan ini, buku menghadirkan tokoh-tokoh pembawa perubahan dunia beserta ajaran kebijaksanaannya. Gandhi dan Teresa seolah mampir bercerita tentang ajaran welas asih dan pengabdian bagi orang-orang yang tidak berdaya. Sesekali Voltaire pun nimbrung lalu berkelakar dengan serius, katanya “saat bicara uang, semua orang akan menganut agama yang sama” – candaan yang diamalkan dengan serius oleh raja-raja Arab dan cukong nya dari Amerika.

Hmm… pada satu ketika, saya pun terpaksa tertawa sendiri, melihat bekantan (kera bule berhidung mancung) yang sedang kongkow-kongkow bersama keluarganya. Semuanya ada 6 orang–maksudnya enam ekor bekantan. Suami isteri dan empat anak-anaknya yang masih kecil. Bekantan adalah primata monogamus. Tanpa dibaptis ataupun menganut sunah agama tertentu, satu pejantan hanya akan mengawini seekor bekantan betina. Demikianlah hukum keadilan alam yang berlaku. Lalu, tiba-tiba saya ingat kelakuan para primata lulusan S2 di ibukota. So, you know what I mean?

… laju perahu melambat saat sungai mulai menyempit dan berkelok-kelok di bawah kanopi rerimbunan kayu berumur ribuan tahun. Sesekali di tepian sungai, buaya terlihat berkedap-kedip matanya mengintai mangsa. Sementara seluruh badannya terendam air berwarna coca-cola, terlumuri rembesan getah akar bakau.

Saat itu Osho bergabung dan berceloteh tentang “fear“. Ketakutan. Ia bernasihat demikian : “saat kamu mencintai sesorang, semua ketakutan akan hilang. Saat kamu takut, seluruh cintamu akan sirna”.

Nasihat yang membuat saya memilih untuk tidak lagi merasa takut, terutama dari tekanan para penebar keangkeran muka Tuhan serta sales penjual kalkulator pahala dan dosa. Karena cinta yang saya perlukan terlalu banyak untuk dibagi buat semua, hingga tak lagi sempat menghakimi mana pendosa mana pemain sandiwara. Dan juga karena saya hanya percaya pada satu Tuhan yang maha kuasa, Tuhan yang sayang semua umat manusia.

Tanpa ketakutan, saya pun lebih bersukacita menjalani rencana-rencana besar sang pencipta. Melepaskan diri dari belenggu identitas yang bukan milik saya. Menjadi nyaman dengan diri sendiri, memaafkan lalu berbahagia bercengkerama pada taman-taman kebaikan yang lestari. Al-baqiyat al-shalihat.

2 thoughts on “My Most Extraordinary Garden

Leave a comment