Another leave fallen in Eastern Istanbul

Angin bertiup kencang dari Barat Laut Selat Bhosporus. Udara dingin berkabut 7 derajat Celcius. Ranting-ranting pohon di halaman Topkapi palace pun meranggas. Daun-daun berwarna keemasan berguguran di bawah naungan langit kelabu Ottoman.

Saya teringat sebuah perbincangan tanggung pada suatu malam, di Vancouver. Saat itu, akhir tahun 1999. Canada belumlah seterbuka dan ramah seperti hari ini. Banyak warga imigran di pinggiran Vancouver yang tidak memiliki tempat tinggal dan jaminan sosial. Sebagian dari mereka menjadi korban drugs dealing dan sex trafficking. Kematian bahkan menjadi hal yang teramat lumrah. Baik karena overdosis, kriminal jalanan hingga cuaca ekstrim yang merenggut para gelandangan saat mereka terlelap di kolong-kolong jembatan.

Another leave fallen in Eastern Vancouver” ia berujar. Dan saya pun tertegun. Memahami jelas apa yang ia katakan. Seseorang telah pergi. Seseorang tak dikenal dengan kematian yang tak ditangisi. Hingga orang-orang malang seperti itu diibaratkan seperti “dedaunan yang berjatuhan di Timur Vancouver”. Kematian orang tak dikenal. Suratan nasib telah menjadikannya jasad tanpa nama, dengan seribu kisah hidup yang tak terungkap.

Saat matahari redup lebih cepat senja hari itu, saya duduk di bangku menghadap sebuah pelabuhan kecil. Tampak beberapa kapal bertiang tinggi sandar dengan layar-layar nya yang tergulung rapi, tanda sang pelaut sedang rehat di daratan. Mungkin sedang menikmati teh dan biskuit di dapur bersama anak-anak mereka. Atau sedang bercengkerama bersama sejawat ditemani sebotol beer di pub-pub yang melantunkan musik country.

Di sini, pada pertemuan benua Asia dan Eropa, dengan latar menara-menara masjid Ottoman yang menjulang. Pada senja yang lebih khidmat dari nyanyian kidung gereja. Daun-daun yang berjatuhan telah membawa kembali ingatan tentang kematian yang tak ditangisi.

Seperti juga kematian begitu banyak mimpi-mimpi masa kecil yang terbunuh tanpa sedu-sedan. Oleh sekolah, orang-orang terdekat, bahkan oleh jiwa kerdil diri sendiri. Kematian yang menjadikannya mimpi tragis, berserakan dan tak bertuan.

Dan bila setiap mimpi itu  adalah daun mapel berwarna keemasan, maka niscaya seluruh muka bumi akan dibalutnya dalam musim gugur yang berkepanjangan.

Namun, demikianlah hakikat perjalanan. Seperti kisah kapal-kapal bertiang tinggi yang tengah bersandar itu, setelah musim badai berlalu segeralah jangkar di halau. Karena samudera luas itulah rumah bagi para pelaut. Betapapun indah pelabuhan dan pantai di mata para pelancong, the sea is home to the sailor. Hingga suatu saat, rumah keabadian menjadi tempat kita semua berpulang. Rumah di mana tempat hati yang sejati tertambat; kediaman yang hangat saat daun-daun berguguran seperti mimpi-mimpi yang jatuh semalam. Tempat berehat yang kekal saat tak seorangpun hadir dalam pelukan.

 

 

 

One thought on “Another leave fallen in Eastern Istanbul

Leave a comment