Travel Light dan Identitas Seorang Traveler (1)

Empty your backpack…” kata Ryan Bingham dalam film Up in the Air. Anand Krishna menyebutnya “detachment”. Aku lebih sering memakai istilah “travel light“. Filosofi yang aku pelajari dari perjalanan. Bahwa traveling adalah menikmati proses perjalanan itu sendiri dengan segala “discovery-nya”, yang tak terduga dan penuh kejutan, namun memperkaya batin. Sebuah “experience” yang menjadikan identitas keseharian kita tidak lagi relevan. Kita menjadi diri sendiri, seorang traveler, petualang, tanpa label CEO, Vice President, MBA atau nama belakang sebuah keluarga. Traveling mengajarkan “Self-I-Dentity”.

Kingsford Smith – Sydney.

Awal musim gugur. Musim liburan keluarga telah usai. Serombongan keluarga dari Britania Raya mengantri di depan counter pelaporan Virgin Atlantic. Beradu mulut soal excess baggage adalah hal yang lumrah terjadi. Begitulah tipikal para pelancong yang tak bisa lepas dari kenyamanan rumah, sementara mereka berada separuh dunia jauhnya dari tempat asal. Masih ingatkah sebuah scene di film Titanic ini? Saat menaiki kapal mewah itu, beberapa orang kaya mendekorasi kabin kapal dengan koleksi lukisan pribadi mereka dalam sebuah pelayaran dari Southampton menuju New York!

Identitas memang perlu, tetapi ketika identitas itu berupa materi, rumah mewah, mobil sport, koleksi lukisan bahkan nama belakang, apakah hal itu akan membuat perjalanan kita lebih menyenangkan? Atau justru sebaliknya, menjadi beban?

Terlahir dari keluarga anu, berarti harus memakai pakaian merk itu, tinggal di apartement yang itu dan minimal mengendarai BMW X5 terbaru. Lulus dari MBA di universitas di sana, berarti harus bekerja di perusahaan private equity yang itu dan setidaknya memiliki net worth sepuluh juta dolar. Dan sebagai keluarga pejabat, maka liburan harus di hotel itu, dengan tiket pesawat kelas satu dan puluhan koper berisi tas-tas dan sepatu sebanyak koleksi baju. Dan bila tak bergaya seperti itu, maka jatuhlah gengsi mereka. Identitas mereka hancur berkeping-keping.

Mungkin itulah yang terjadi pagi itu di Kingsford Smith. Bahwa membawa identititas diri yang melekat pada materi justru akan merepotkan sendiri, yah setidaknya saat check-in di counter airline. Apakah itu juga representasi dari kehidupan nyata? Hanya hati masing-masing yang tahu. Aku tak mau menjadi juri dari sesuatu yang bukan kompetisi.

Sementara itu dengan carry on tas olahraga berisi lima kaos oblong dan dua kemeja, serta dua celana panjang dan jaket serta beberapa buku bacaan, aku cukup men-scan passport di counter self-check in Jetstar Airlines. Menikmati lebih banyak waktu di lounge, dengan pemandangan lalu lalang pesawat raksasa antar benua. Mengamati kehidupan badara udara yang begitu dinamis dan penuh sentimen. Ada perjumpaan, ada perpisahan dan ada pula yang sekedar singgah untuk melanjutkan perjalanan.

DSC_0254
My faithful companion. The blink of a wing tip, passing over.

3 thoughts on “Travel Light dan Identitas Seorang Traveler (1)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s