Travel Light dan Identitas Seorang Traveler (2)

Ngurah Rai – Bali.

Bersama Nengah Dhana Artha, berdua kami menuju Ubud, di tengah hujan rintik-rintik pulau Dewata. Kami bicara tentang Ananda, pemuda lajang bekas Vice President sebuah firma ternama di Wall Street, tinggal di salah satu dari segelintir apartemen di jantung pusat keuangan dunia, persis tipikal pemuda sukses harapan mertua. Ia memiliki pergaulan sosial dengan orang-orang ternama, dan banyak teman yang merasa bangga hanya karena pernah ngobrol atau sekedar ngopi bareng dia.

Lalu apa yang teristimewa darinya? Jika isi koper menunjukkan identitas pemiliknya, ia sewajarnya menginap di Double Six, dengan deretan club hingar bingar dan Bali Hai serta para penari setengah telanjangnya. Berjingkrak, berkeringat, dan mabuk hingga matahari meninggi hari berikutnya. Namun Ananda, ia berada di Ubud, bukan di Seminyak. Dan seorang diri.

Ah mungkin ia sedang patah hati? Atau terhipnotis film Eat Pray Love nya Julia Roberts yang baru saja premier di New York? Atau baru saja mengalami kebangkrutan yang memporak-porandakan portfolio hidupnya? Tidak. Sudah dua tahun ia rajin mengunjungi Ubud. Satu minggu, empat hari, atau sekedar akhir minggu. Jauh sebelum euforia supermarket spiritual Ubud merebak di kalangan petualang ruhani.

Dan di sanalah aku bertemu Ananda, di sebuah rumah meditasi dekat museum Antonio Blanco. Kami berbincang seperti sahabat lama. Ia bercerita tentang mimpi-mimpi New York City, gelandangan yang menjadi jutawan di Wall Street, serta perusahaan keuangan besar yang membuat produk-produk perjudian legal bernama commodity derivatives dan credit default swap. Istilah-istilah yang hanya diketahui oleh segelintir orang namun dijual sebagai produk yang sexy dan menggairahkan. “Begitulah Amerika” katanya. “Wall Street hanya menjual ilusi. Kopi adalah milik Brazil, batubara milik Indonesia dan berlian milik Afrika Selatan. Namun semua diperdagangkan di sini, dan para penjudi itulah yang mendapatkan keuntungan dari jual beli barang yang tidak pernah mereka sentuh, bahkan sering kali tidak pernah ada”.

Palladium. Kalian pernah dengar nama itu?” Kami serempak menggeleng. “Commodity Derrivative desk kami sejak lama memperdangakan Palladium karena trend harganya yang selalu naik. Hingga saat ini aku tidak tahu benda apakah itu. Jadi kalau di Indonesia populer dengan pepatah ‘jangan beli kucing dalam karung’ maka di Wall Street si kucing bisa jadi adalah ular, kelinci atau bahkan tak ada makhluk apapun di dalamnya”.

“Sementara para trader bermain short selling di trading desk mereka, petani jagung di China tak berdaya melihat komoditas yang mereka tanam kini tak bernilai lagi. Tiga bulan menanan, disirami keringat dan diiringi harapan seluruh keluarga akan keadaan ekomomi yang lebih baik, hancur luluh oleh ketamakan segelintir manusia di dalam gedung-gedung kaca yang sejuk, bersenjatakan layar-layar pipih yang berpendar sehari semalaman, di belahan dunia lain”. Lanjutnya. “Kadang, perilaku mereka lebih bengis daripada serangan Al Qaida. Jutaan orang telah menjadi korban pemiskinan sistematis oleh korporat-korporat itu”.

Sembari mendengarkan kisahnya, aku melihat suatu kedalaman dalam tata bicaranya. Tidak berapi-api seperti pendeta yang menceramahi para pendosa. Damai namun tetap kritis. Dan rasa penasaran ini pun tak lagi bisa aku tahan “Lalu kenapa kamu di sini? Apa yang Ananda cari?”.

Sembari tersenyum ia menjawab “Aku tak mencari, aku menemukan”.

Ya, kami bertiga bisa meresapi apa arti kata itu. Bahkan pertemuan kami pun bukanlah sebuah kebetulan atau keisengan semesta alam.

***

DSC_0029

One thought on “Travel Light dan Identitas Seorang Traveler (2)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s