Madinah – Februari 2011.
Ia menyebut kami Dhoifur Rahman, tamu-tamu Allah. Dan ia meyebut dirinya pelayan tamu-tamu Allah. Demikianlah ia jalani hari-hari nya selama tujuh generasi di tanah suci, melayani peziarah ke rumah Tuhan. Memandu kami dengan doa-doa yang tidak kami mengerti, namun menenteramkan hati. Meditatif.
Menjelang akhir musim dingin waktu itu, kabut tipis dan suhu 4 derajat Celcius selalu hadir saat subuh hingga menjelang matahari terbit. Langit biru pucat, dengan awan berarak di atas langit Madinah. Payung-payung masjid Nabawi pun mulai dikembangkan, menaungi peziarah dari teriknya matahari Saudi menjelang siang nanti. Majestik, anggun dan ultra modern. Begitulah masjid terindah di seantero bumi ini terkesan. Kilauan emas di dekorasi tiang, lampu dan kaligrafi interiornya berpadu dengan kokohnya menara dan payung berteknologi terkini. Sebuah manifestasi bahwa Islam tidaklah anti dengan ilmu pengetahuan dari Barat dan perubahan yang dibawanya.
Sambil memandangi payung-payung itu terkembang, aku bertanya kepadanya “Bukankah ini surga? Dimana setiap langkah adalah pahala, dan setiap doa tak lain adalah bisikan yang didengar oleh Tuhan?” “Aku ingin tetap disini”.
“Tidak…” katanya. “Tempatmu tidak di sini. Kembalilah ke negeri asalmu, di sanalah medan perangmu. Menjaga hati di tengah gemerlapnya dunia itulah perjuanganmu. Berteguh hati saat yang lain menertawakan dan mengucilkanmu, itulah pesanmu. Dan berbahagia kerena ingat Tuhan-mu di saat yang lain mengeluh dan menyerah terhadap keadaan, itulah revolusi hidupmu.”
Demikianlah pesan itu aku kenang. Sedari bertolak dari Jeddah, melewati padang pasir Yaman, menyeberang laut Arab, menyusuri kontinen dan Samudera Hindia hingga tiba di tanah air.
Seperti kisah the Alchemist, aku sampai di tepian dunia lain hanya untuk menemukan bahwa duniaku di sini. Dan begitulah sejatinya sebuah petualangan. Kaki boleh menginjak puncak tertinggi Himalaya, namun yang aku taklukkan adalah di di dalam diriku, egoku, ketakutanku dan kenyamanan yang membunuhku. Tanpanya aku takkan tumbuh dan lebih kuat, menghadapi dunia yang semakin menantang. Tanpa perjalanan itu hari-hariku akan sama seperti kemarin, dan aku akan merugi, seperti pesan Tuhanku.




