Sultanahmet. Langitnya kelabu bimbang, hendak kemanakah laju angin musim dingin ini berlalu. Orang-orang lanjut usia dalam balutan jubah arab terbungkuk menuju surau saat azan zuhur berkumandang. Di sela-selanya laju trem tak hirau menyusuri rel abad pertengahan, kontras dengan cerahnya warna merah dan biru rangkaian gerbong ultra modern kereta yang menjadi ikon kota Istanbul itu. Di dalamnya para komuter bersesak-desakan dalam balutan kostum Eropa yang modis.
Istanbul bukanlah sebuah melting pot kebudayaan. Jelas terdapat perbedaan yang nyata antara Islam, Kristianiti, Apostolic, Judaism dan Koptik dalam simbol-simbol rumah ibadah mereka. Satu hal yang menyatukan mereka adalah ketidakpedulian orang-orang di sana tentang perbedaan itu. Suatu pemikiran yang mungkin saja terlahir akibat lelahnya orang-orang Istanbul terhadap perang atas nama agama selama berabad-abad. Hagia Sophia adalah saksinya.
Dibangun sebagai Katedral kaum Orthodox, ia berubah menjadi Roman Catholic Church di medio 1200-an. Lalu ketika kekaisaran Ottoman berkuasa, ia pun bertransformasi menjadi Masjid Aya Sofya yang anggun. Hagia Sophia adalah monumen perubahan itu sendiri. Dan saat ini, ketika lebih banyak orang datang sebagai turis dibandingkan dengan muslimin yang bersembahyang di dalamnya, ia pun menerjemahkan perubahan sekularitas masyarakat di sana.
Orang-orang Istanbul merasa nyaman dengan keadaan ini. Entah itu suatu bentuk pencerahan atau ketidakpedulian. Tak ada yang tahu pasti. Setidaknya keadaan inilah pilihan mereka. Pemerintahan yang sekuler memungkinkan boulevard Istiklal Cadesi menjadi sebuah supermarket spiritual sekaligus plaza kapitalisme. Tak ada satu tempat pun di dunia dimana masjid, katedral, sinagog, butik-butik brand ternama, restoran, cafe hingga striptease bar berada di satu jalan yang sama. Saling berdampingan, dan ramai dikunjungi para umat nya masing-masing. Benar, mereka tidak peduli lagi. Satu pintu toko menawarkan surga melalui menu spiritualnya, satu pintu menawarkan gemerlapnya dunia sebagai Nirvana dan pintu lain menyajikan kenikmatan seksual sebagai jalan pencerahan dunia yang penuh samsara.
Istanbul. Terhubung oleh Bhosporus antara Laut Hitam dan Marmara. Semesta menjadikannya laluan peradaban untuk saling beradu, berkompetisi dan menguasai. Lalu di sela-selanya manusia mulai tidak peduli lagi, lelah. Perubahan-perubahan sejarah itu ternyata tidak membawa mereka menuju tuhan. Hanya kebencian dan permusuhan. Lalu mereka coba mencarinya di Istiklal Cadesi. Tetapi bukan itu pula tuhan yang mereka cari. Istanbullien tetap mencari, sebagaimana kita di sini. Dan perjalanan itu pun dimulai.

