
“Sebelum trekking ke Nepal harus banyak treadmill dan berenang, untuk latihan pernafasan, agar nafas lebih ritmis di saat oksigen tipis dan yang paling penting, tidak kena serangan jantung ketika ditodong senjata pemberontak Maoist…” kata teman di sebuah milis minggu lalu, menimpali beberapa komentar tentang tips-tips trekking di daerah yang masih rawan konflik.
Rupanya sang penulis baru saja melakukan trekking ke Jiri, rute darat menuju Everest base camp. Saat turun gunung, ia dihadang pemberontak Maoist. Beberapa bulan kemudian, cerita tersebut berulang pada saya.
Saat itu dalam perjalanan pulang ke Kathmandu dengan bus, kami terpaksa berhenti di tengah jalan karena terjadi mogok masal yang diorganisir pemberontak Maoist untuk menggulingkan pemerintahan. Saat penumpang lain yang mayoritas penduduk lokal memilih untuk menunda perjalanannya dan menginap di rumah kerabat mereka, saya dan seorang pendaki asal Iceland nekat menembus blokade pemberontak dengan menyewa sebuah jip 4×4.
Batang-batang pohon dan tiang listrik yang dirobohkan ke tengah jalan untuk menghalangi kendaraan dapat dilalui, namun saat melewati check point militer yang ternyata telah beralih kuasa ke tangan pemberontak, malang tak dapat dielak. Ujung senapan AK-47 tiba-tiba saja menjulur melalui kaca pintu mobil kami yang setengah terbuka.
“I am an Indonesian, and I have nothing to do with politics and your country…” sembari menyodorkan halaman depan paspor hijau beberapa jengkal dari muka tentara pemberontak itu. Jurus defensif lain sudah ada di otak, kiranya si paspor tak mempan menolak bala–“Last month my country delivered US$500,000 aid to help you from starving..” hmm, begitu rencana kalimat selanjutnya.
Namun si pemberontak hanya bergumam..”Indonesia…?” Bahkan sepertinya dia tidak pernah bersekolah sehingga tidak tahu ada negara besar bernama Indonesia di Timur Jauh. Ia palingkan pandangan ke si bule teman saya yang sudah agak gemetaran. Sebelum dimintai passportnya, saya katakan “he’s with me… my friend”. Akhirnya kami berdua pun turun dan menunggu di dalam barak mereka.
Sore berganti malam. Empat jam tanpa tanda-tanda kejelasan kapan mogok massal ini akan berakhir. Bahkan kami tidak tahu pasti apa yang terjadi di luar sana. TV lokal berbahasa Nepal menayangkan pembakaran dan bentrokan massa di Kathmandu dan beberapa kota sekitarnya, serta lumpuhnya sistem transportasi dan pemerintahan. Melihat gelagat tentara pemberontak yang tidak represif dan agak santai–seorang diantaranya berada di depan komputer tua yang terhubung dengan telepon gelombang radio, saya memberanikan diri beranjak… “Sir, can I borrow your internet, yes… internet, computer..” dengan sedikit memperagakan adegan memencet keyboard. Dia mengangguk dan beralih tempat duduk.
Yeahhh….!!! Internet!!!
Yang pertama saya lakukan adalah men-download Yahoo messenger. Saya harus memberitahu seseorang apa yang sedang terjadi disini. Just in case. Dengan perbedaan waktu sekitar 4.5 jam dengan Jakarta, saya yakin orang-orang masih sibuk di kantor dan mungkin ada yang online di YM. Sahabat saya Jomima, adalah nama yang pertama terlintas, karena dia selalu di depan komputer mengawasi naik turunnya pasar obligasi sembari online di YM dan Reuters nya.
Ping!!! “Jomima…. gue lagi ditahan pemberontak Maoist! Tolong cari info tentang mereka.” Rupanya kalimat pendek saya ini cukup membuat shock seluruh ruangan tempat Jomima bekerja dan nantinya membuat saya cukup terkenal sebagai orang gila di antara teman-temannya.
Dalam sekejap, Jomima membalas dengan informasi tentang perkembangan di Nepal, bahwa pemberontak cenderung tidak berbahaya dan mengancam orang asing dan biasanya hanya mengutip uang untuk logistik mereka. Berbekal informasi ini, kami cukup lega, setidaknya kami tahu dengan siapa kami berhadapan.
Keesokan harinya, keadaan belum berubah. Berada dalam situasi ‘tahanan rumah’ walaupun terdapat makanan dan air terasa amat menyiksa. Setelah 30 jam tanpa perkembangan berarti, kami mulai menyusun strategi. Menurut kabar dari seorang pengemudi paramiliter yang kami temui, menjelang tengah malam nanti akan ada satu kendaraan PBB yang akan lewat menuju Kathmandu. Kendaraan ini kemungkinan satu-satunya yang diizinkan untuk lewat, dan inilah kesempatan terbaik untuk bisa turun ke Kathmandu.
Setelah melewati detik-detik yang amat menyiksa, kami mendengar suara mesin jip yang kasar menembus jalanan berlumpur. Jam menunjukkan pukul 1:00 dini hari. Melalui seorang perantara, negosiasi pun dimulai. US$120 dan NR60,000. Dan tanpa berpikir panjang, saya pun bilang “OK, deal!”.
Menjelang pukul 2:30AM Jip tua berplat dinas merah yang telah ditempeli kertas A4 bertuliskan “TOURIST ONLY” pun merangkak menuruni pegunungan Dunche, di tengah kabut dan udara yang mendekati titik beku.

Beberapa pos paramiliter dapat kami lalui dengan lancar, karena mereka telah mendapat jatah upeti kami. 10 jam kemudian, kota kathmandu mulai tampak dikejauhan. Tak tampak kami kelelahan, seperti pepatah “the journey home is never too long, your heart arrives before the train..”.
Pemberontak Maoist dengan jargon Lovism (Pathways to Heaven) yang disimbolkan dengan garis melingkar sebagai ilustrasi hidung Buddha ternyata cukup unik dalam mengekspresikan “lovism” nya… yaitu dengan menodongkan senjata. Dengan bahasa yang tidak kami pahami, mungkin sebenernya mereka ingin bilang :
“welcome to my country… we love you brother… but love comes with a price…”.