Syabrubesi adalah pemberhentian terakhir bus kami dari Kathmandu. Udara dingin menyergap begitu kami turun dari bus tua yang telah bersusah payah menanjaki lereng-lereng pegunungan Dunche – Syabrubesi selama hampir 12 jam lamanya. Syabrubesi merupakan desa paling ujung yang bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor, selebihnya harus dilalui dengan berjalan kaki atau menunggangi binatang Yak. Di desa inilah persediaan logistik para pendaki tersedia, mulai dari makanan, obat-obatan, hingga pakaian dan sepatu.
Menjelang pukul 20:00, udara di ketinggian 1430m ini mencapai 6 derajat Celcius dan akan terus turun hingga ke titik beku menjelang tengah malam nanti. Angin gunung dan selimut kabut putih pun turut menyapa, seakan mengucapkan selamat datang kepada kami para musafir, di sela obrolan dengan para Sherpa yang selalu setia mengantarkan para petualang ke puncak-puncak tertinggi Himalaya.
Daal bhat dan air jeruk panas yang diseduh dengan susu Yak menjadi menu makan malam kami. Dan untuk pertama kalinya saya berbincang dengan Mankumar Tamang, Sherpa yang akan menemani saya hingga ke puncak Langtang Peak di ketinggian 5115m. Tak hanya memaparkan soal rute perjalanan dan logistik yang diperlukan esok, Mankumar juga menjelaskan bahwa daal bhat dan daging yak akan menjadi menu utama selama perjalanan nanti.
Sambil menyantap makan malam kami, amat terasa semilir angin pegunungan di desa terakhir yang bisa dicapai dengan kendaraan di Region Langtang Himal ini. Desa yang berfungsi sebagai buffer logistik para pendaki, sebelum mereka ‘get lost out of civilization’.
Desa ini memiliki sekitar 20 penginapan sederhana / lodging, yang biasanya terdiri dari bangunan dua lantai, lantai bawah untuk warung dan restoran, sementara kamar-kamarnya terletak di lantai atas. Jangan berharap ada pemanas udara di sini. Air panas untuk mandi pun harus dijarang dengan tenaga surya yang sebagian besar pasti sudah tidak berfungsi.
Harga sekamar penginapan berkisar antara NR30 (Rp.5,000) hingga NR200 (Rp.30,000) per night room only. Untuk makanan, Daal Bhat, a local diet, dihargai sekitar NR100 (Rp.15,000) sampai NR150 (Rp.22,500). Hot lemon tea dihargai NR100 (Rp.15,000) dan air mineral botol seharga NR30 (Rp.4,500). Sebuah “kafe internet” juga terdapat di sana, ruangan berdebu dengan 3 layar monitor cembung dan jaringan dial-up telepon radio, mereka akan mengenakan tarif NR125 (Rp.18,750) per jam.
Syabrubesi dapat dicapai dengan bus umum dari Kathmandu (setiap hari berangkat dari Kathmandu central bus station, berangkat tiap jam 7:00AM) dengan tiket NR240 (Rp.36,000). Bisa juga dengan menyewa jip dengan harga NR 4,000 (Rp.600,000). Namun teman saya seorang wartawan CNN harus membayar US$400 untuk pulang pergi.
Jarak 168km dari Kathmandu biasanya ditempuh antara 8h30 hingga 10 jam, tergantung cuaca. Pada musim hujan amat banyak terdapat tanah longsor yang membuat perjalanan ini tidak terduga dan berbahaya, di sisi kanan bukit berupa tebing batu dan tanah terjal, di sisi kiri lembah dalam tak berujung.
68km pertama hingga mencapai Trishuli Bazaar jalannya berupa aspal berlubang, selebihnya 100km hingga ke Syabrubesi adalah beruba tanah berbatu, genangan air dan beberapa air terjun alami yang memang memotong jalan (not to menton : beberapa tanah longsor yang hamoir tak terhitung jumlahnya).
Pukul 4 sore, bus kami tiba (Thank God!) setelah beberapa kali melalui cobaan sekana tak henti. Suhu sore itu masih cukup normal, sekitar 10C, dan hujan rintik-rintik pun mulai turun, amat lembut seperti butiran tepung melembapkan lembah Syabrubesi yang mempesona.