Going Midwest in Iowa City

The Pentacrest - center of downtown Iowa City
The Pentacrest – center of downtown Iowa City

Sebuah email menghentikan sementara semesta di sekelilingku. Suara dan lalu-lalang orang-orang seketika menjadi tidak relevan. Email ringkas yang mengamini teori Einstein tentang elastisitas alam semesta; mengerucutkan “time and space” ke sebuah kalimat berisi pemberiahuan: “placement : Iowa City”.

Dulu aku sering bermain dadu. Pernah pula aku memutar bola dunia sembari memejamkan mata, lalu menghentikan putarannya dengan ujung jari telunjuk. Tujuannya sama, mendapatkan tempat-tempat random tak terduga untuk tujuan perjalanan berikutnya.

Tapi pagi itu aku tidak sedang bermain dadu. Seseorang di ujung dunia sana memang “menugaskanku” untuk pergi ke Iowa City. Nama sebuah tempat yang segera aku ketik di kotak pencari Google, dengan hasil : gambar sapi raksasa dan ladang-ladang jagung dan okra.

Chilled window above Colorado Springs. American Airlines 777-200 from Tokyo en route to Dallas TX.
Chilled window above Colorado Springs. American Airlines 777-200 from Tokyo en route to Dallas TX.
United ERJ-145 from Chicago O'Hare to Cedar Rapids.
United ERJ-145 spotted at Chicago O’Hare, bound for Cedar Rapids, Eastern Iowa.

Up in the air

Pesawat American Airlines 777-200 yang aku tumpangi dari Tokyo mendarat di Ronald Reagan Airport, tak seberapa jauh dari Gedung Putih. Dari sisi kiri jendela terlihat waduk dengan tepian taman-taman hijau tempat berdirinya Jefferson Memorial. Tampak di kejauhan kolam sepanjang lebih dari satu kilometer, the reflecting pond, yang di satu ujungnya berdiri Lincoln Memorial sementara di ujung lainnya berdiri tegak tugu Washington Monument yang menjadi ikon kota Washington D.C. Saat mendarat di Reagan, sudah 25 jam terbang aku kantongi, melintasi lautan pasifik, menyeberangi seluruh benua Amerika dari Barat hingga Selatan, kemudian mendarat untuk berganti pesawat di Dallas, Texas.

Penerbangan lanjutan ke Iowa City (my goodness!) masih memerlukan sekitar empat hingga lima jam lagi dari D.C. Dimulai dengan transit di Chicago O’Hare, lalu dilanjutkan dengan regional jet ERJ-145 United Airlines berkapasitas 40 orang yang akan membawaku ke bandara Cedar Rapids, Eastern Iowa. Belum berakhir di sini, perjalanan ke Iowa City akan dilanjutkan dengan mengendarai mobil selama satu jam, melintasi The Saint Highway–yang dinamai demikian karena mengubungkan dua kota bernama “Saint” yaitu Saint Louis di Illinois dan Saint Paul di Minnesota yang mengapit negara bagian Iowa.

The road sign that need no further explanation to understand its meaning.
The road sign that need no further explanation to understand its meaning.
Land of corn fields and okra. Welcome to Iowa.
Land of corn fields and okra. Welcome to Iowa.
Red Barn painting by William Erwin, represents the landscape of Iowa.
Red Barn painting by William Erwin, represents the landscape of Iowa.

Welcome to the Midwest

Sepanjang perjalanan menuju Cumberlane, padang-padang jagung mendominasi lansekap di kiri dan kanan jalan bebas hambatan ini. “Red Barn”–lumbung dan komplek pengolahan hasil pertanian yang berwarna merah hati–sesekali menyita pandangan mata, dengan warnanya yang kontras dengan langit biru dan hamparan ladang kehijauan.

Berbeda dengan pertanian di kampung halamanku di Jawa, hampir semua ladang-ladang di Iowa adalah “industrialized farming”. Yang berarti tanah-tanah itu adalah milik perusahaan dan dikelola sepenuhnya dengan peralatan-peralatan modern. Mulai dari pembibitan, pemupukan hingga panen, semua dikerjakan oleh mesin-mesin yang bahkan tanpa perlu operator manusia karena dikendalikan via GPS.

“Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat perdebatan tentang pencemaran air sungai oleh industri pertanian kita. Tanah dan air di bantaran hilir sungai, yang berada di negara bagian lain, telah tercemar racun dari residu pupuk tanah” kata Thomas, penduduk Iowa City yang sebelumnya pernah tinggal di beberapa negara bagian lain di Midwest. Memang secara produktifitas, dengan sitem dan peralatan modern, satu hektar lahan pertanian di Iowa tentu akan lebih banyak menghasilkan jagung daripada satu hektar pertanian tradisional di Indonesia. Tapi, dengan segala efek yang ditimbulkan (tenaga kerja, pencemaran lingkungan) apakah itu yang memang kita kehendaki?

Pertanyaan yang membawaku pada permenungan saat menuju Bandung dari Gambir beberapa tahun lalu. Kereta pagi yang tak seberapa ramai, karena tol Cipularang sudah beroperasi. Jendela yang lebar dan kabin yang hening. Sawah-sawah yang menguning, menghijau dan beberapa diantaranya baru ditanami bibit padi yang terendam air setengah. Pada sebuah tepian pematang, tampak beberapa petani berkerumun, mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin bertukar kabar anak-anak mereka yang beranjak dewasa dan pergi ke kota. Atau berbagi penghiburan di tengah air waduk Jatiluhur yang semakin surut, sementara hujan pertama diberitakan baru akan turun dua bulan lagi.

Di tengah petak sawah dalam kontur berteras-teras melengkung layaknya arsitektur Art Deco tahun 20-an, seorang ibu bercaping biru tampak tekun menyiangi rumput-rumput liar yang menumpang nutrisi pada batang-batang padi yang berjajar rapi. Baik dalam kesendirian maupun obrolan berkelompok tadi, semua terlihat menyatu dalam harmoni alam semesta. Meditative.

Sepertinya, bertani bagi mereka bukanlah perkara menjual sekian ton per hektar sawah. Melainkan sebuah proses menjalani hidup, living as a farmer. Pak dan bu tani bukan saja bekerja seharian di sawah, dari matahari terbit hingga terbenam. Tapi mereka “hidup” di sawah. Rutinitas yang mungkin sudah mereka lakukan dari generasi ke generasi, hingga desakan urbanisasi menculik anak-anak mereka ke kota untuk hidup yang lebih gemerlap seperti di sinterton-sinetron Punjabi. Atau hingga perluasan kota industri menggusur petak sawah mereka menjadi pabrik. Dan hingga saat itu tiba, mereka akan menjalani hari-hari dengan rutinitas yang sama, melakoni budaya dan ritual bertani, berdekat-dekatan dengan alam dan sang penciptanya. Suatu hal yang tak dapat digantikan oleh mesin maupun robot pemanen berteknologi GPS.

Parks, another park and other parks.
Parks, another park and other parks.
Iowa River that floods during rainstorm season. The park on its bank is in fact designed to be flooded. Engineering!
Iowa River that floods during rainstorm season. The park on its bank is in fact designed to be flooded. Engineering!
Coralville dam and its recreation parks, North of Iowa City.
Coralville dam and its recreation parks, North of Iowa City.
Homes.
Homes.

Leaders of Tranquility

Seperti tepian danau Maninjau di Bukittinggi yang tenang, Iowa City pun memberi kesan yang sama. Ketika bumi Bukittinggi melahirkan tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Hatta dan Buya Hamka, keterpencilan Iowa City tak membatasinya meroketkan nama-nama besar… hingga ke luar angkasa. James Van Allen, penemu sabuk magnetik yang melingkupi bumi berasal dari Iowa. Seumur hidupnya Van Allen mengabdikan diri untuk meneliti partikel-partikel pada magnetic belt tesebut, mempelajari pengaruhnya terhadap satelit hingga membawanya pada pengembangan teknologi roket modern di laboratoriumnya di University of Iowa, hingga ia meninggal tahun 2006 lalu. Untuk mengenang jasanya, sabuk magnetik, pusat penelitian roket, serta observatorium di University of Iowa diberi nama Van Allen, sebagai penghargaan bagi kontribusinya yang besar pada kemajuan sains dunia.

Pada hari pertama di kota berpenduduk tak lebih dari 70,000 ini, banyak hal baru yang aku pelajari tentang perjalanan. “Slow down, take a deep breath, look around”. Deretan pohon-pohon oak, tallgrass dan bunga-bunga liar ditepian jalan. Taman-taman dengan bangku menghadap ke kolam dan sungai yang mengalir tenang. Serta rumah-rumah kayu dan lumbung-lumbung pertanian yang tetap hadir di tengah-tengah tumbuhnya gedung-gedung penelitian dan asrama mahasiswa modern University of Iowa. Sangat kontras dengan Washington DC dan New York City yang hiruk pikuk, Iowa City membawa warna baru dalam persepsiku tentang Amerika. Kehidupan Midwest, dengan suhu udara musim semi yang masih sanggup bikin badan menggigil. Ladang-ladang okra dan jagung. Peternakan babi dan sapi-sapi raksasa. Namun, dalam kebersahajaanya, Iowa adalah sumbu politik yang amat berpengaruh di Amerika. Negara bagian dengan kaukus pertama, penentu arah konstituen dalam menentukan pilihan politiknya. Tak heran, hampir semua calon presiden Amerika memulai kampanye perdananya di Iowa. Dengan segala paradoks dan keunikannya, aku masih berfikir hingga saat ini. Why me in Iowa City?

Leave a comment