Menjelang jam sepuluh malam, hujan mereda. Meninggalkan keheningan, hanya tersisa suara titik air hujan yang jatuh dari atap, ritmis dan meditatif. Ananda melanjutkan kisahnya.
“Aku pernah seperti mereka, menikmati seksinya New York City. Aku masih bisa merasakan sensasinya. Powerful. Something. Ketika semua layar TV dan film menayangkan latar kota New York, bukankah suatu kebanggan ketika bisa kau katakan ‘Hei… I’m the New Yorker you guys are talking about!’ Lalu kau ceritakan nama-nama tempat di layar itu, jauh lebih detail dari narasi acara manapun. Karena itulah hidupmu”.
“Namun pada suatu malam di bulan Februari, sesuatu hinggap di kepalaku. Saat aku menatap lalu-lalang kendaraan di jalanan New York dari jendela apartemenku, aku mulai ragu. Tanpa New York City, tanpa gelar MBA Finance, tanpa bekerja di Wall Street, tanpa Boston College. Tanpa itu semua, apakah aku ini?”
“Semua identitasku adalah materi. Rumah, karir, uang, MBA, dan anak dari si anu. Bila semua itu ditanggalkan dari duniaku, aku lenyap. Aku ingin bertemu dengan diriku sendiri, yang otentik. Sehingga saat malaikat penjaga alam kubur menanyakan identitasku, aku bisa menjawabnya, tanpa harus menoleh ke belakang atau mengintip dunia di bawah sana. Well, itu semua memang utopis tapi cukup mengusik”.
Kami pun tergelak, menertawakan kekonyolan hidup kami sendiri. Kebodohan-kebodohan yang telah kami lalui sepanjang hayat. Seperti tersesat di pertokoan duty free bandara Dubai yang gemerlap, hingga lupa bahwa penerbangan lanjutan akan segera diberangkatkan. Begitulah manusia, sibuk melengkapi diri dengan atribut duniawi, hingga lupa bahwa dunia adalah tempat transit mereka menuju rumah yang sesungguhnya. Nirvana yang abadi, bait al jannah.
“Wow, memandangi jalanan NY dari jendela, dan kamu mendapat pencerahan wahyu ilahi? What a metamorphosis!” candaku.
“Yesus pun pasti iri kepadamu. New Age prophet. What a cool title you got! Nabi bermobil X5 di jalanan Soho NYC, dengan gadis-gadis latin tanpa pakaian dalam dan free-flow wine setiap malam. Sementara wahyu yang turun ke Yesus menjadikannya terseret dalam kehinaan di jalanan Golgota, lalu berakhir di tiang salib. Dunia memang tidak adil.”
Kali ini kami termenung. Memutar kembali potongan-potongan film abu-abu di kepala. Mengenang fragmen the flow. Saat logika runtuh tak beraturan. Saat jantung berdebar keras dan keringat dingin merembes dari kepala. Tertawa, lalu menangis, lalu tinggallah hening yang dalam. Entah apa namanya itu.
Bukan sebuah kebetulan Ananda memandangi jalanan NY malam itu. Bukan sebuah kebetulan pula sebuah janji meeting batal awal minggu berikutnya di DC sehingga ia bisa mampir ke Kramer Books dan mendapati buku The Monk Who Sold His Ferrari. Dan bukanlah tanpa konspirasi semesta hingga tiba-tiba sahabat lamanya di Boston mengajaknya mudik ke Surabaya di penghujung 2010 lalu.



Reblogged this on Langkah ku…. .