Sekeping radio menjelang malam, tahun 1986. Saat itu siaran berita dunia Yazir Denhas berkumandang. Perang tengah berkecamuk di Karabakh, wilayah Uni Soviet yang dihuni etnis Armenia dan Azerbaijan, namun dibawah kendali USSR.
Kami bertiga, khidmat mendengar setiap detail perundingan yang gagal, demonstrasi yang memakan korban serta dunia yang tak berdaya mengulurkan tangan. Sesekali ibuku menggumamkan sesuatu, seperti menyesalkan tragedi yang tidak juga berhenti. Sementara kakakku sudah nyaris lelap mengejar pagi sekolah esok hari.
“Nagorno Karabakh, Azerbaijan, Uni Soviet, perang.. korban tewas.. konflik bersenjata..” Aku tak faham kata-kata di radio itu, juga tak ingat lagi kata-kata ibuku. Tapi memori seorang bocah 3,5 tahun merekam semuanya, bahkan kosakata yang baru ia dapati maknanya 10 atau 15 tahun kemudian.
Memang saat itu, di penghujung dekade 80-an, pengaruh komunisme menjelang runtuhnya Soviet mulai memudar. Katalis atas negara multietnis yang berbeda agama mulai tidak relevan.
Etnis Armenia yang disokong oleh militer Hayastan mulai menggariskan batas teritori bernama Nagorno Karabakh, di wilayah yang juga dihuni oleh etnis Azerbaijan. Dengan dalih klaim sejarah tanah leluhur disertai bukti-bukti arkelologis peradaban masa lalu mereka, etnis Armenia mengklaim wilayah pegunungan Karabakh sebagai tanah air mereka. Sementara atas restu Uni Soviet, Azerbaijan memiliki hak untuk membentuk pemerintahan sipil di Karabakh saat itu.
Dan perangpun terus berkecamuk, hingga runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991. Serta merta etnis Armenia dengan bantuan militer Armenian USSR mendeklarasikan kemerdekaan negara Nagorno Karabakh, yang tiga perempat penduduknya adalah etnis Armenia beragama Kristen Apostolik.
Pertempuran makin menjadi-jadi. Dengan status Armenia dan Azerbaijan yang kini telah merdeka dari Uni Soviet menbuat mereka makin jumawa atas kuasa tanah Karabakh. Saat itu Mujahidin Afghanistan serta militan Checznia turut membantu tentara Azeri menggempur militer Armenia yang lebih modern dan tangguh. Korban sipil pun berjatuhan, ratusan ribu meregang nyawa, hampir sejuta orang menjadi pengungsi di kamp-kamp dan kelaparan.
…..
Tepat 25 tahun setelah siaran radio pada malam itu, aku menginjakkan kaki di negeri pegunungan berselimut salju itu. Nagorno Karabakh. Negara de-facto yang hingga saat ini belum diakui oleh satu negara pun di dunia, namun ia merdeka.
Tak terdengar lagi tembakan meriam maupun senapan di jalan-jalan kota Stepanakert, ibu kota negara itu. Namun trauma perang masih kental terasa. Tank-tank dan truk tentara tampak selalu siaga, untuk situasi yang sangat tidak terduga. Meriam anti serangan udara di perbatasan pun sesekali masih menghajar pesawat Azerbaijan yang menyusup masuk wilayah udara Karabakh. Dan minggu lalu dua orang tentara Karabakh tewas tertembak sniper Azeri yang sedang berpatroli di Buffer Zone.
Di tengah-tengahnya, masyarakat beraktifitas, memaksakan diri untuk menikmati kehidupan normal layaknya sebuah bangsa merdeka. Pedagang di pasar menjajakan roti lavash dan buah-buahan segar dari pegunungan Caucasus : red berry, pomegrenade dan anggur serta susu dan keju yang diperah dari peternakan terbaik di lembah sungai Araks.
Anak-anak kecil pun tampak berlarian sekembali mereka dari sekolah. Dari balik mantel bulu dan tudung penutup kepala, tampak muka-muka ras Kaukasus dengan pipi kemerahan, menebar senyum sembari mengucap salam kepada pendatang… “barev dzez…”
Namun luka perang itu tetap ada. Seperti bekas lubang-lubang peluru yang memenuhi tembok-tembok gedung sepanjang kota Shoushi. Reruntuhan gedung opera, hotel dan perpustakaan, seolah membeberkan fakta bahwa sebuah peradaban pernah ada, tercabik oleh perang, lalu hilang dalam laluan sejarah.
Dan sore itu, seorang musafir telah menempuh 13,790 km hingga sampai di negeri gunung berselimut salju, Karabakh, menerjemahkan mimpi yang ia bawa dari masa 25 tahun silam, terlahir dari gemerisiknya siaran radio di tahun 1986.
…..
Seandainya malam itu aku tertidur dan tidak mendengar siaran berita itu, tentang perang, tentang Karabakh, tentang ibuku yang menggumamkan sesuatu yang tidak aku mengerti, niscaya satu bab sejarah akan lewat dari kehidupanku. Ilmu pengetahuan yang lebih berharga dari uang, karena tak satu pun kalkulator mampu menghitunginya.
… dan seperti pada malam-malam yang lain, berita ditutup dengan informasi harga sayur-mayur di pasar induk Kramat Jati… “kol gepeng, cabai merah keriting, kentang mutu ABC…” Kosa kata itu pun masih aku ingat sampai saat ini… 🙂












real traveller, stepping to the unknown zones, full of uncertain matters.
sampai hari inisaya masih mencoba menggali memori tentang negara ini.
sepertinya dulu disuatu masa yang jauh. ada sesuatu.
dan masih tidak terbayangkan perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai kesini…
terima kasih atas sepenggal pelajaran sejarah yang sudah terlupakan.
Terima kasih sudah share..gak sengaja sampai ke blog ini..saya akan ikuti terus.saya sudah follow..
Salam
Felix Kusmanto