Nagorno Karabakh – Part 1

Awal Desember 2011. Saya sedang berada di negara de-facto Republik Nagorno Karabakh (NKR). De-facto karena belum satu negara pun di dunia yang mengakui berdirinya negara tersebut, walaupun secara administratif terdapat Presiden dan Kabinet serta parlemen dan lembaga-lembaga penyokong pemerintahan lainnya.

Jalur masuk ke NKR hanya bisa dilalui lewat Armenia, negara ex-Soviet dengan penerbangan lanjutan dari Dubai. Paspor hijau Indonesia sangatlah asing bagi petugas imigrasi di Zvartnots airport – Yerevan, ibu kota Armenia, sehingga saya harus di interogasi selama satu jam oleh 3 orang petugas. Maklumlah secara resmi Armenia masih berperang dengan Azerbaijan dan Turki sementara Indonesia tidak memiliki kedutaan di Armenia. Ketika mendaftar visa turis, petugas bilang bahwa sebelumnya baru ada 2 orang Indonesia yg mengunjungi Armenia, dengan visa undangan, mereka adalah mahasiswa yang menikah dengan orang Armenia dan seorang temannya. Selebihnya adalah beberapa orang diplomat yang menghadiri undangan Presiden untuk urusan kenegaraan.

Untuk mencapai NKR saya menyewa sebuah jip 4×4 Lada buatan Rusia yg amat perkasa untuk melalui perbukitan selama 11 jam perjalanan darat menuju kesana.

Teritori NKR adalah sebuah enclave (negara dalam negara) wilayah Azerbaijan — yg sedang berperang dengan Armenia, sehingga terpaksa saya harus “trespassing” wilayah perbukitan yang secara de-jure adalah wilayah Azerbaijan, daerah ini disebut buffer zone, wilayah gencatan senjata yg ditandatangani tahun 1994 namun senantiasa dilanggar oleh kedua belah pihak. Sebagai catatan, dua hari sebelumnya 2 pesawat mata2 Azeri ditembak jatuh di dekat buffer zone ini.

Menjelang buffer zone, masih di wilayah Armenia, terdapat parit dan urukan tanah yang baru dibangun sepanjang 200km, 10km diantaranya tepat bersisian dengan jalan raya. Parit ini dibangun untuk menghadang tank-tank Azeri (etnis Azerbaijan) dari seberang sungai Arax — batas alam antara Armenia dan Azerbaijan, serta urukan tanah setinggi kira2 4m untuk melindungi pelintas jalan dari tembakan sniper2 Azeri. Memang di tempat inilah jalan raya berada di titik terdekat dengan perbatasan Azerbaijan, kurang dari 2km.

Di teritori perbatasan ini setiap puncak bukit memiliki menara pengawas yang sebagian di antaranya dilengkapi radar dan meriam anti serangan udara. Di beberapa tempat, di antara dua bukit terdapat kabel amat panjang yang menghubungkan kedua puncaknya, dari kabel tersebut menjuntai kawat-kawat besi kebawah yg beraliran listrik. Alat ini, yang dibangun pada era Soviet adalah untuk memerangkap helikopter2 Azeri yang menerobos dengan ketinggian rendah untuk menghindari pantauan radar Armenia.

Setelah melewati cek-point perbatasan keluar wilayah Armenia, saya “trespassing” wilayah Azerbaijan yang tak bertuan. Daerah pegunungan bersalju tanpa pepohonan dan manusia ini terkenal dengan nama Lancin Corridor karena jalan raya nya membelah dua bukit yang curam. Di wilayah inilah konon sering terdapat sniper2 dari kedua belah pihak yang bertikai dan saling menyerang. Saat melintas menjelang matahari terbenam, tidak terdapat tanda-tanda kehidupan hanya terlihat jejak-jejak kecil di atas selimut salju, yang ternyata adalah jejak srigala dan beruang merah.

Dulunya di koridor ini terdapat desa kecil bernama Berdzzor. Penduduknya dari etnis Azeri, sebanyak sekitar 2000 orang. Namun sejak ketegangan meningkat, desa ini menjadi desa hantu tak perpenghuni.

Setelah dua jam melewati buffer zone, tibalah di perbatasan masuk ke NKR yang tak memiliki portal penjagaan, hanya papan nama selamat datang di Republik Nagorno Karabakh saja.

Ketika orang bertanya untuk apa pergi kesana, kiranya lembaran sejarah saja yg menjawabnya. Kuil-kuil Apostolic tertua di dunia dari abad ke-1 ada di sana. Manuskrip2 awal tentang Kristiani diangkat dari penggalian arkeologi di Karabakh. Alexander the Great membawa benih2 buah terbaik ke Yunani dan Eropa dari tanah Karabakh. Ottoman membantai ribuan manusia hanya untuk meng-klaim kebudayaannya. Persian menyerbu untuk menguasai bukit-bukitnya yang mengandung emas. Dan pada Soviet era, mereka mencaploknya untuk menguasai tanah yang terapit tiga lautan dan berpunggung Caucasus Selatan. Genosida dan perang lekat dengan cerita sehari-hari penduduk di sana walaupun menimbulkan trauma.

Rasanya tak ingin pulang, banyak cerita sejarah yang belum terungkap ke dunia. Banyak kuil dan punggung bukit penuh sejarah yang belum terjamah tinta para pemberita.

At the border of Nagorno Karabakh Republic

3 thoughts on “Nagorno Karabakh – Part 1

    1. Sure… pergilah berpetualang, ke negeri-negeri yang jauh. Saat pulang kita akan temukan diri dan dunia yang berbeda.

  1. Armenia… salah 1 negara yang sangat ingin saya kunjungi. Kebudayaannya yang kuno dan kekristenan yang sangat melekat pada tradisi bangsa mereka; berhasil mempertahankan identitasnya dari serbuan dan invasi bangsa2 asing selama 2000 thn. Sangat menakjubkan.

    Nagorno karabakh nama yang sudah lama saya dengar dari ayah saya saat ngobrol2 wkt saya masih SMA. Jadi semakin penasaran ingin ke sana.

    Anda beruntung sekali bisa solo traveling ke negara2 yang tidak dikenal masyarakat pada umumnya, terlebih masyarakat Indonesia. 99,9% pasti blm pernah dengar nama Nagorno Karabakh atau Artsakh nama barunya…hehe. Semoga saya bisa ke sana suatu saat nanti. 2 thn depan mau naik Transsiberian aja dulu dari Beijing atau vladivostok ke moscow dan saint petersburg. Semoga.

Leave a reply to cemara Cancel reply