Salah perhitungan! Kalimat bernada penyesalan itu muncul seketika saat kami lihat reruntuhan rumah kayu (tea house) di depan–tempat semestinya kami menginap dan mendapat suplai makanan untuk tiga hari ke depan.
Dengan terpaksa, satu hari lagi kami harus berjalan menuju ‘pitstop’ makanan selanjutnya… sementara bekal makanan kami pun sudah habis… karena cadangan makanan sudah kami bagi-bagikan ke anak-anak sekolah di bawah tadi pagi.
Kami berdua tertawa… tidak ada sesal sama sekali. Mankumar, si Sherpa meyakinkan, “it’s going to be alright..”. Ya, sebaiknya memang begitu. Sembari melanjutkan perjalanan, bekal kami hanya air minum dari sungai glacier, satu buah apel sisa dari Kathmandu, dan satu bungkus ‘mi gelas’ dari Jakarta. “pelaan… pelaan… slowly” kata Mankumar, melafalkan satu-satunya kosa kata Bahasa Indonesia yang ia ingat, karena kata itulah yang paling saya gumamkan saat lutut sudah susah untuk berkompromi.
Dan menjelang sore, mulailah gejala ‘severe altitude syndrome’ menyerang tubuh yang sudah lapar dan letih ini… pusing, mual dan seperti kebingungan. Saat briefing keselamatan, selalu diingatkan kepada para pendaki agar hati-hati terhadap gejala tersebut. Banyak pendaki solo yang hilang dan meninggal karena kehilangan orientasi, berjalan seharian tapi serasa hanya satu jam, tanpa mengetahui arah dan ketinggian, yang akhirnya berakibat fatal.
Rupanya Tuhan tak ingin kami mati disana.
Dari atas kami lihat seorang pendaki Korea, terlihat seperti seorang fotografer profesional, dan Sherpa-nya menuruni jalan setapak yang tertutup lapisan es.
Saat akan berpapasan tiba-tiba ia berhenti dan membongkar carrier-nya. “beban kami terlalu berat” katanya. “kalian ambil saja sisa makanan kami, pasti kalian lebih perlu buat di atas nanti, siapa tahu terjebak badai dan tidak bisa turun cepat… kami sudah tidak perlu lagi bekal ini”, ungkapnya dalam bahasa Inggris yang terbata.
Empat pack hazelnut chocolate, 12 bungkus sosis dan satu kantong plastik buah kering dan beberapa kantong susu protein berpindah tangan ke ransel kami. Tuhan maha baik, what goes around comes around, way much better.
Hwang Im Hoo, namanya. Sang utusan dewa penolong kami.

*) Sherpa : adalah penduduk setempat yang bekerja sebagai pemandu jalan dan porter para pendaki (trekker). Mereka terbiasa tinggal di suhu ekstrim dan ketinggian.