Another Passenger to Kilikia

Ararat

Dalam perjalanan ke arah Barat menuju Arthasat, mobil kami berhenti di tikungan jalan. Cuaca yang mendung menghalangi kerinduan saya akan matahari terbenam sore itu. “Not my lucky day”.

Perjalanan tak henti selama empat jam menjauhi perbatasan Azerbaijan telah membuat kaki-kaki ini nyaris mati rasa. Thanks to kabin Lada 4×4 yang sempit laksana kokpit pesawat luar angkasa Soviet.

Saya keluar untuk meregangkan badan, sembari menghirup udara sejuk pegunungan Kaukasus. Pada musim panas, daerah ini adalah padang-padang rumput berbatu, dengan hamparan bunga Dandelion berwarna putih dan kuning. Saat ini, musim telah menggantinya dengan taburan salju di atas belukar yang meranggas.

Hening. Hanya kami rupanya musafir yang melintas di laluan antar negara ini. Entah karena bukan musim liburan, atau karena peringatan pemerintah untuk menghindari perbatasan? Yang jelas, sudah seminggu terakhir headline koran-koran lokal mengabarkan tentang sibuknya tentara Armenia mengusir jet-jet Azeri yang melanggar perbatasan. Dua diantaranya sukses ditembak jatuh.

“Come over. I have something for you” ucap Maria. Ia beranjak menuju ke sisi lain jalan, mendaki ke arah tanah datar di atas sebuah bukit kecil.

“This…”. Ia merentangkan kedua tangannya, seperti sedang membuka pertunjukan di gedung opera.

Dan pertunjukan itu memang layaknya opera kelas dunia, dikali seribu ditambah satu. Di langit Barat yang absen lembayung sunset, Sang Ararat menggelar show nya yang melegenda. Ia bertahta anggun di atas awan, menggantung seperti dewa-dewi di taman legenda Sri Wedari.

“I miss home” gumam Maria. Tanah leluhurnya berada jauh di balik gunung itu, di negeri yang sudah tidak lagi menjadi milik mereka. Di bawah kekuasan Soviet saat itu, sejarah telah menggariskan batas negara yang tegas, Ottoman Turki dan Armenia adalah berbeda. Dan kejatuhan Soviet selanjutnya, telah membuat garis batas itu pengesahan untuk saling bermusuhan. Hingga saat ini, perbatasan kedua negara tidak pernah dibuka dan secara politik mereka masih berperang.

Kemudian, di sepanjang perjalanan senja itu ia melanjutkan ceritanya tentang negeri Kilikia.

“One millenia after the birth of Christianity….” ia memulai. Saat itu Kerajaan Armenia diserang dan dikuasai kaum Seljuk. Akibatnya, secara de facto pemerintahan Armenia berpindah ke wilayah teluk Alexandretta. Di tanah pengungsian itulah mereka mendirikan “Little Armenia” dengan ibukotanya Tarsus.

“Sejarah dan silsilah keluarga saya berawal dari situ”. “Nenek moyang kami adalah para Crusaders di pengungsian. Mereka pejuang yang beraliansi dengan tentara-tentara Eropa Barat untuk melawan pasukan Persia Sunni yang menduduki lembah Kaukasus, tanah air kami”.

Fakta sejarah Armenia membuat saya termenung. Mungkin, tidak ada satu pun bangsa di dunia yang lebih “fragile” daripada Armenia. Dalam periode lima ratus tahun Armenia telah beralih kekuasaan dan diduduki lebih dari 50 kali. Pasukan Ottoman, Roma, Persia, Arab, Mongol hingga Rusia silih berganti memporak-porandakan ketenangan sang Puteri Kaukasus. Meninggalkan trauma genosida dan luka akan tercerai-berainya talian silsilah keluarga.

Armenia adalah korban dari nafsu penjajah yang merasuki bangsa-bangsa di abad pertengahan. Dengan dalih menyebarkan agama dan “ajaran baru yang lebih beradab” mereka justru telah membunuh dan mengusir jutaan umat manusia yang tidak bersalah.

Di balik keindahannya, lembah Kaukasus adalah magnet yang berbahaya. Dan jika ada pepatah “beauty is a curse” maka hal itu berlaku dalam sejarah masa lalu Armenia. Perang telah memisahkan Maria dengan para leluhurnya. Bahkan ia sendiri pernah mengungsi dan tinggal sekian lama di Syria selama pendudukan Soviet. Kerabatnya tercerai-berai hingga ke Somalia dan Algeria di benua Afrika.

“Are you angry at the Turks?”

Maria terdiam, memandangi siluet Ararat yang lamat-lamat menghilang di balik kabut senja menjelang malam.

Gelap telah menggantikan terangnya siang, apakah siang akan marah? Lalu ia pun akan digeser oleh pagi baru yang penuh pengharapan.

“Saya hanya ingin pergi ke sana, ke Kilikia. Melihat tanah leluhur kami, walaupun hanya puing-puing reruntuhannya”. “Tentu saja akan lebih mudah jika mereka dan kami tidak terpisah oleh batas-batas ini”.

Begitulah, hidup Maria adalah perjalanan mengumpulkan kembali keping-keping sejarah leluhurnya. Sebuah perjalanan panjang menuju Kilikia. Dan saya terlalu jatuh cinta untuk tidak ikut di dalamnya.

Leave a comment