
Menyapa tepian Indonesia, kali ini aku mengunjungi Pulau Sumba di ujung Selatan Indonesia. Sebuah pulau yang juga dikenal sebagai Nusa Cendana. Perjalanan yang mempertemukanku dengan para pahlawan setempat yang luput dari hingar bingar media ibukota.
Walaupun tanpa kawan seperjalanan, aku tak pernah merasa terasing di sini. Senyum dan sapaan yang ramah sudah kudapatkan sedari memasuki pesawat dari Denpasar menuju Tambolaka di Sumba Barat.
Perjalanan ke Sumba adalah tentang melihat dunia dari sisi yang lain. Merasakan hidup di tengah-tengah kebudayaan asli yang terpelihara selama ribuan tahun, sembari menikmati keindahan alam dengan sudut-sudutnya yang tak jarang masih menyembunyikan banyak rahasia.
Dikelilingi hamparan pantainya yang berpasir putih dan laut berwarna tosca, Sumba pun masih menyimpan hutan-hutan tak terjamah di lembah-lembahnya yang teduh. Di tepiannya, sekelompok rumah panggung beratap rumbia yang berasap menandai ada kehidupan di sana.
Pergantian rezim di zaman Republik, invasi bangsa-bangsa Eropa abad ke-15 ataupun Perang Dunia ternyata tak banyak mengubah wajah Sumba dari asal-muasalnya di zaman Megalitikum, sekitar 4,000 tahun lalu.
Di setiap desa tradisional, masih terpelihara dengan baik meja-meja kubur batu (dolmen dan menhir) dari zaman peradaban Batu Besar. Begitu pula spiritualitas mereka yang masih menganut Marapu, atau memuja roh-roh nenek moyang dari suku mereka.
Dan tentu saja, kenanganku tentang Sumba tak lepas dari padang-padang luas menghijau. Saat berada di tengah-tengahnya, seolah aku berada di negeri Lord of the Rings perbukitan New Zealand. Dan jika musim berganti kemarau, padang-padang inipun akan berubah gersang layaknya Taman Nasional Serengeti di Tanzania.
Pagi itu, Petu–seorang pemuda Sumba yang telah selesai kuliah di Semarang– mengajak aku mendaki bukit Kalihi. Di puncaknya, terlihat puluhan turbin angin yang sedang memanen energi untuk mengalirkan listrik bagi seratusan rumah di perkampungan desa sekitarnya.
Petu menjelaskan, “Sekarang anak-anak bisa belajar saat malam hari dan air bersih bisa dipompa dengan adanya tenaga listrik”.
Sembari bercerita, kami berjalan sejauh lima kilometer dari Bukit Kalihi menuju proyek pembangkit listrik lainnya. Kali ini berupa mikro hidro, pembangkit listrik bertenaga air yang juga dikerjakan oleh IBEKA dengan sumbangan dana dari Hivos, sebuah lembaga nirlaba dari Belanda.
“Inilah mimpi Sumba, menjadi pulau berswasembada energi bersih dan terbarukan”.
Pada kesempatan yang lain, aku mencoba untuk mengeksplorasi ujung Selatan pulau Sumba. Menuju pantai Tarimbang di sebuah desa pesisir yang hanya bisa dijangkau dengan kendaraan berpenggerak empat roda selama lima jam dari kota Waingapu.
Di sini aku menemui sekelompok anak muda dari Jawa Timur yang sedang ditugaskan sebagai guru sekolah dasar selama satu tahun dalam program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) dari Kementerian Pendidikan. Merekalah pelita yang membuka jalan bagi anak-anak pedalaman Sumba untuk mengenyam pendidikan, belajar membaca dan berhitung.
Siapa tahu, salah satu dari anak-anak berkulit legam dan berambut merah inilah obat penyembuh AIDS bisa ditemukan, atau tokoh sekaliber Mandela dan Gus Dur menemukan jalan pencerahannya.
Para guru itu pun antusias bercerita berbagai pengalaman unik, lucu serta mengharukan semasa mengajar. Rina, 23 tahun, berkisah “sebagai guru penempatan, hampir tak ada fasilitas yang tersedia di lokasi mengajar. Kami harus mandi di kali dan tidur di bilik kayu asrama guru di samping sekolah”.
Rina yang lokasi tugasnya di pelosok perbukitan juga harus berjalan kaki selama tiga jam untuk menjangkau jalan kampung terdekat, lalu berdesakan menaiki truk bersama sayuran, ayam dan babi demi berbelanja bulanan di pasar musiman.
Hanya dengan kebesaran hati dan semangat pengabdian yang luar biasa mereka mampu bertahan melalui hari-hari tanpa sinyal telepon, supermarket dan obrolan after office hour di kafe-kafe.
Di luar dugaanku, di balik kelebatan hutannya yang misterius, Tarimbang menyimpan secerah harapan akan masa depan Indonesia yang lebih cerdas.
Dan begitulah, perjalanan selalu mengajarkanku menemukan sisi-sisi humanis peradaban manusia yang belum terjamah dan terkontaminasi. Peradaban Tarimbang, pada pantai berpasir putih yang masih tak terusik dan nyaris tanpa pengunjung. Pantai dengan latar belakang tebing kapur yang tak kalah cantik dari Navagio Beach di Yunani.
Bagiku, traveling bukan hanya sebuah aktivitas saat liburan, ia adalah filosofi hidup. Bahwa keindahan nusantara bukan hanya untuk dinikmati oleh panca indera, tetapi juga sebagai panggilan untuk lebih mencintai dan memperbaiki Indonesia, tanah air beta.





Sangat membesarkan hati melihat bahwa orang-orang Sumba berswasembada energi dan tidak menunggu uluran tangan dari pusat. Sejak beberapa tahun yang lalu Sumba menjadi salah satu destinasi impian saya, karena kealamiannya, karena kebelumterjamahannya.
Hi Bama, iya benar sekali bahwa Sumba sedang mengejar mimpi swasembada energi terbarukan dengan semboyannya “Sumba Iconic Island”. Di sana listrik didapat dari tenaga surya, pembangkit tenaga air mini (mini/micro hydro) dan tenaga angin. Dan para pelopornya adalah wirausahawan sosial yang inovatif dan mandiri. Saya ada beberapa “follow-up” project dengan teman-teman baru saya di sana, next trip mungkin kita bisa bareng ke sana 🙂
terima kasih atas kunjungannya di negeriku….
sumba selalu menanti dan menunggu kawan” dari jawa untuk membangun negeri ini menjadi jauh lebih baik….
jangan lupa kalau ke sumba mampir di desa energi terbarukan yaitu desa kamanggih kecamatan kahaungu eti kabupaten sumba timur untuk melihat beberapa Sumber energi terbarukan yg ibeka bangun.