
Entah berapa malam sudah pernah saya lewatkan di guesthouse ini. Gaya arsitekturnya yang eclectic khas penginapan bule-bule backpacker yang sederhana namun elegan dan menghargai seni. Cakupan wi-fi hotspot yang menjangkau setiap jengkal premisnya ingin mengutarakan bahwa ia berkelas dunia, dan menjamin setiap penghuninya untuk tetap terhubung dengan jejaring dunia maya, satu-satunya tempat eksistensi para petualang, yang sering mereka jadikan alamat tetap so called “home”.
Mungkin karenanya ia dinamai 1001 malam, seperti kisah Sinbad dengan karpet terbangnya yang mashur itu. Mbak Hartini, sang manajer adalah si operator karpet terbang. Perempuan medio 40an yang ramah dan fasih berbahasa Inggris inilah yang menjadi ibu rumah tangga bagi rumah berkamar 13 ini. Berada di tengah-tengah Red Light Distric paling sohor di seantero nusantara tidak mejadikannya canggung bekerja di sini. Sejak berdiri hampir satu dekade lalu, hingga saat ini mbak Hartini adalah sang penjaga kastil 1001 malam.
***
Pasar Kembang adalah nama yang tersohor. Sebuah kampung di pinggiran Malioboro yang oleh cendekiawan Belanda pernah disebut sebagai tempat prostitusi terbesar di dunia, melebihi RLD De Wallen di Amsterdam Centruum yang tercantum di setiap buku panduan wisata ke Negeri Belanda.
Pasar Kembang sendiri tak lepas dari sejarah berdirinya kota Yogyakarta. Tahun 1800an akhir, Stasiun Tugu yang bersisian dengan Pasar Kembang dibangun. Para pekerja dan Mandor Belanda mendapatkan tempat penginapan di sekitar lokasi proyek, dan secara alami mulailah tumbuh tempat-tempat hiburan, cikal bakal RLD Pasar Kembang. Supply and demand.
Sebagaimana Pangkalan tentara AS di Clark, camp PBB di Dili serta misi-misi internasional di belahan dunia lainnya, lokalisasi selalu hadir sesuai dengan naluri prinsip ekonomi. Ada uang ada barang. [music]...lalu dimanakah cinta? ah sudahlah…[music stop].
Tubuh manusia adalah komoditas. Barang yang diperdagangkan. Sebagaimana batubara, air dan uang. Bicara dosa dan kemaksiatan, bukankah kadang uang lebih memaksiatkan manusia daripada transaksi tubuh-tubuh itu? Bukankah bisnis tambang berlian dan batubara telah merenggut nyawa anak manusia dan memecah belah persaudaraan bahkan memicu peperangan? Bukankah politik adalah pelacuran yang dilegalkan sehingga seorang pemimpin berselingkuh sesama jenisnya untuk merengkuh kekuasaan dan menghianati kepercayaan jutaan pendukungnya yang taat dan tak berdaya? Berapa banyakkah intelektual berdasi yang melacurkan otak dan pemikirannya kepada tuhan-tuhan berwarna hijau pucat dan putih itu.Tak terhitung pula pria-pria berjubah yang mengutuk-ngutuk para ‘pendosa’ di televisi demi segepok ketenaran. Pelacuran dalam berbagai manifestasinya.
Namun demikian, pelacuran akan tetap bertahan, karena ialah denyut penggerak roda-roda ekonomi seiring hasrat manusia yang tak pernah padam. RLD akan tetap menjadi sumber GDP bagi ribuan ibu-ibu Pasar Kembang, tukang becak, angkringan, pemilik warung, wartel hingga penjual kondom di kedai 24 jam. Tak perlu dipungkiri, ia adalah bagian dari sebuah peradaban kota.
***
Dan dua abad bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah kontroversi dalam status quo. Pasar Kembang telah membuktikan resilience nya. Para penyokongnya pun beragam mulai dari tokoh politik, pekerja proyek, turis-turis luar kota, ahli pendidikan, mahasiswa institut keagamaan hingga para penduduk lokal. Kelompok radikal pun tak mampu mengusiknya, karena mereka mambutuhkan kehadirannya.
Saat menjelang malam gang-gang di Pasar Kembang bermetamorfosa menjadi labirin panjang nan hiruk pikuk layaknya pembukaan perdagangan sesi pagi di Wall Street. Di ujung-ujung nya para bandar menjajakan komoditas mereka, mengunggulkan produk andalan dengan kompetisi harga. Persaingan terbuka sesuai mahzab ekonomi liberal. Di tengah-tengahnya anak-anak manusia pun terlahir, para calon penerus bangsa yang cerdas dan penuh potensi.
Di sini, separuh dunia jauhnya dari New York, anak-anak kecil itu telah mendapatkan privilege untuk melihat dan mengalami apa yang orang-orang Wall Street baru lihat setelah mereka lulus gelar MBA. Commodity exchange, derivatives, swaps, pasar bebas yang sebenar-benarnya.
***
Kopi jahe ini sudah mulai dingin, beberapa tamu bule masih berbincang dengan gelas-gelas bir bintangnya di meja sebelah. Jam makan malam sudah usai sedari tadi, last order sejak 2 jam lalu. Tepat di seberang pintu masuk 1001 Malam, Mi Casa es tu Cas masih tetap hangat. Sebuah Cafe fusion penuh gantungan lukisan kontemporer dengan menu internasional dan pelayan yang fasih berbahasa Inggris, Perancis, Belanda dan Jepang. Tempat berkontemplasi, mengamati tanpa menjadi hakim.
Meja-meja di luar kedai sudah mulai dimasukkan, menjelang tengah malam. Dan ke 1001 Malamlah tempat kembali. Di sana masih ada mba Hartini yang siap membuatkan indomie telur pengganjal sindrom keroncongan menjelang pergantian hari. Saat yang tepat untuk menuliskan kilas balik mozaik perjalanan abadi.
Bersandal jepit dan kaos oblong di penginapan murah dekat dengan Pasar Kembang ini, terasa sebuah kedamaian yang aneh. Sesuatu yang pernah saya cari dengan berjas hitam di tengah riuh rendahnya lobi Hotel Millenium di Lower Manhattan. Sebuah sensasi yang sama dalam manifestasi yang berbeda, rectoverso.