
Di tepian laut Kaspia malam itu Iran meluncurkan rudal nuklir eksperimennya. NOTAM* pun diterbitkan saat pesawat kami yang malang melintas tepat di atas ibukota Tehran. Penumpang yang awam tidak menyadari bahwa malam itu akan menjadi sebuah petualangan seru namun mencekam.
Pesawat berbelok tajam ke kanan, sembari menurunkan ketinggian. Penumpang mulai gelisah. Seorang pria Arab yang duduk di seberang tampak menunjuk-nunjuk rute pesawat di layar video depan kursinya, memang jalur terbang pesawat telah semakin menjauh dari tujuan kami semula, Yerevan.
Sesaat kemudian sang Captain pun berbicara. “Penumpang yang terhormat, kita akan segera mendarat di bandara Narimanovo di Astrakhan, Rusia Selatan. Rute penerbangan dialihkan sesuai dengan NOTAM dari otoritas penerbangan Iran. Flight attendant, prepare for landing…”
Berbagai spekulasi pun beredar, kami tidak pernah tahu apa yang tengah terjadi sebenarnya di bawah sana. Apakah perang telah pecah antara Iran dengan Israel? Apakah sedang terjadi serangan udara di Tehran? Atau apakah pesawat kami telah dibajak oleh teroris?
Lampu-lampu di kabin pun segera padam, menambah kecemasan bagi sebagian besar penumpang. Pesawat nampak terburu-buru menurunkan ketinggian, bahkan tidak sampai 15 menit kemudian, hentakan roda pesawat telah menghantam landasan aspal bandara Narimanovo yang sunyi. Gelap dan dingin. Lapisan salju tipis tampak di tepian runway. Bulan nyaris sempurna pun muncul dari balik pepohonan meranggas, tanda musim dingin mulai tiba di negeri Stalin ini.
Kami melewatkan tengah malam itu di ruang transit bandara yang senyap. Lampu-lampu neon kedai kopi dan suvenir telah padam. Begitu pula lalu lalang petugas bandara dan panumpang tak lagi tampak. Narimanovo jelas bukan bandara internasional yang sibuk dan melayani penerbangan selama 24 jam nonstop layaknya Dubai atau Schiphool yang terlihat seperti pasar Mangga Dua bahkan saat jam setengah tiga dini hari. Ia hanyalah sebuah landing strip yang melayani penerbangan regional ke negara-negara CIS seperti Georgia dan Armenia, serta ke ibukota Moscow dan St Petersburg.
Mayoritas penumpang adalah ras Kaukasian, warga Armenia dengan muka-muka dingin sebeku udara minus 12 derajat di luar sana. Sebagian lagi para saudagar dari Dubai yang tidak fasih berbahasa Inggris namun piawai dalam berniaga bahkan di negara asing yang amat berbeda budayanya. Dan sepertinya saya adalah satu-satunya penumpang dari Asia.
Warga Armenia dalam rombongan kami nyaris semuanya membawa barang belanjaan dari duty free shop di bandara Dubai, tempat kami bertolak. Isolasi Armenia dari dunia luar rupanya telah membuat komoditas kehidupan modern amat jarang ditemui disana. Tak hanya parfum dan cokelat, penanak nasi, blender, mainan anak hingga setrika listrik pun mereka beli dari Dubai. Para lelakinya berpakaian senada, mantel berwarna hitam atau cokelat, celana jins biru dan sepatu kulit berjung lancip. Sementara itu para wanitanya bersepatu boots kulit berhak lancip dan bermantel bulu dengan jins ketat membalut kaki-kaki jenjangnya.
****
Menjelang pukul 4 subuh, Gate nomor 2 dibuka. Tanpa pengumuman boarding, penumpang digiring masuk ke pesawat Boeing 737 seri 800 yang sama. Nomor tempat duduk saya 6A, window seat sebagaimana saya pilih dalam setiap penerbangan lain. Saat malam, kedipan lampu di sayap dengan latar awan berarak dan cahaya bulan memberi kesan tenang tak bertepi, meditasi tingkat tinggi seorang pejalan dunia. Itulah harapan saya. Namun tidak demikian kali ini.
Dari jendela, pendar kuning bola-bola lampu argon di sisi runway justru terlihat mencekam. Tanah ini seperti tak bertuan. Tak ada bongkar muat kargo ataupun deretan pesawat komersil yang bermalam dan siap mengantar tamu-tamu keesokan harinya. Hanya ada pesawat militer tampak teronggok di kejauhan sementara petugas yang terlihat hanyalah pasukan keamanan dengan senjata-senjata laras panjang Kalashnikov hitam mengkilat seperti yang dipakai TNI di perbatasan Timor Leste – Atambua.
Tak berapa lama di taxiway, deru mesin pesawat makin meninggi tanda akan segera berlepas landas. Melalui pengeras suara, Kapten pesawat menyebut destinasi penerbangan kami. Yerevan? Not just yet… Kami harus transit di Tbilisi, Georgia! Pejalan dengan tingkat kegilaan akut akan menganggap hal ini seperti mimpi jadi nyata. Kapan lagi hop-on-hop-off di negara-negara CIS secara cuma-cuma dalam waktu semalam! “Mabuhay!!” teriak hati saya.
Muka saya yang sumringah di antara ratusan penumpang lain yang gundah dalam drama rudal nuklir dan terlunta-lunta tak berkesudahan ini rupanya menarik perhatian seorang awak pesawat. “Hey, are you from Indonesia, Sir…?” Ah, pasti dia habis mencontek manifest penumpang. Orang seringkali menyapa saya dengan bahasa Tagalog bahkan Nihon-go, setidaknya demikian dari pengalaman-pengalaman saya sebelumnya. “Ya, Jakarta…” jawab saya singkat.
“I was in Jakarta for 3 years with my parents. My father worked for Indian embassy before he retired. We lived in Kelapa Gading… I’m Azim by the way. Apa kabarnya.” Ia memperkenalkan diri.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pramugara keturunan India ini pun bercerita tentang kenangannya tinggal di Jakarta 10 tahun yang lalu saat dia masih SMP. Ia suka naik bajaj dan makan di pinggiran jalan Menteng raya depan stadion Persija yang kini sudah tiada. Di dekat sana memang terdapat Gandhi Memorial tempat warga India biasa bermeditasi. Rupanya banyak hal tentang Jakarta yang ia kenang. Sambil mondar-mandir melayani penumpang lain ia selalu sempatkan melanjutkan memorabilianya tentang Jakarta. Dan tanpa terasa waktu satu jam pun berlalu. Dari sisi kiri jendela, kaki langit tampak merekah jingga. Perlahan pesawat menurunkan ketinggiannya, mendekati langit Tbilisi yang pucat berselimut kabut putih pekat. Saatnya berpisah dengan Azim, karena kami harus berganti pesawat.
***
Hanya berselang 30 menit di darat, kami kembali mengangkasa dari langit Georgia. Kali ini dengan sebuah Airbus A320 milik Armavia yang berwarna jingga, berlambangkan gunung kembar Ararat, simbol kebanggaan rakyat Armenia. Kelelahan yang sangat membuat nyaris semua penumpang terlelap begitu roda pesawat terangkat dari landas pacu. Hening, sunyi. Hingga suatu hentakan membuat kedalaman mimpi kami buyar.
“Ladies and gentlemen, welcome to Zvartnots, the international airport of Yerevan. The local time now is 51 minutes past 7 in the morning. The ground temperature in Yerevan is reported at minus 7 degree Celsius. Please remain seated until the airplane comes into a complete stop. Welcome to Armenia.”
Terdengar tepuk tangan menyambut pengumuman dari sang pramugari. Beberapa penumpang nampak bergegas mengemasi tas-tas kabinnya, tak peduli bahwa pesawat masih melaju di landasan. Muka-muka lelah tampak lebih ceria, karena akhirnya drama semalam akan segera berakhir sudah, bagi mereka. Karena buat saya, ini barulah permulaan.
***
* NOTAM (Notices to Airmen) is an aviation authority’s alert to aircraft pilot of any hazards en route or at a specific location. The authority in turn provides a means of disseminating relevant NOTAMs to pilots. By Wikipedia.