Travel Light dan Identitas Seorang Traveler (4)

Lincoln Memorial – Washington DC

September 2012. Memunggungi patung raksasa Abraham Lincoln, aku duduk di teras Memorial yang menghadap reflection pond, kolam panjang dengan siluet Washington Monument tepat di seberang sana. Semilir angin 18 derajat Celcius pagi ini begitu nyaman. Langit biru terang memberi laluan bagi sinar matahari musim gugur mencapai kulit lenganku, menyentuhnya lembut, hangat. Matahari yang sama. Yang aku kenal. Yang selalu memberi pencerahan tanpa menggurui. Sahabat yang selalu menerangi jalanku. Matahari yang pernah aku hadirkan malam itu.

Momen ini adalah fraktal. Kepingan serupa dari mimpi yang pernah aku coba ciptakan. Desain yang kugambar dengan peluh dan detak jantung yang meninggi, namun ritmis. Teratur, seperti ayunan langkah para pelari di depanku pagi hari ini. Mengelilingi kolam yang tenang, dengan angsa-angsa  yang berenang dan menari meninggalkan galur riak tak simetri.

Ternyata aku keliru.

Aku tertawa dalam hati, melihat frame demi frame yang berkelibat di depan mataku. Seperti dunia paralel yang sedang di tayang ulang. Aku mengira telah mendesain masa depanku, dari mimpi hingga nyata seperti hari ini. Bukan, bukan itu. Panggung itulah yang memilih aku menjadi salah satu pemainnya. Panggung yang sama hingga aku bertemu dengan Nengah Dhana Artha dan Ananda. Panggung yang meninggalkan cerita manisku bersama Maria, the Princess of Caucasus.

Millenium Hotel – Lower Manhattan, New York City

Perjalanan dari Washington DC cukup lancar. Dalam 4 jam 20 menit bus yang aku tumpangi sampai di halte 34th street, Manhattan. The Empire State Building–sang legenda, terlihat menjulang di depan sana, perlu mendongakkan leher cukup tinggi untuk bisa melihat mahkotanya yang berkilauan terkena matahari pagi New York City. Aku bergegas menuruni tangga subway, mengejar metro menuju ke stasiun Wall Street. Kereta bawah tanah ini telah ada sejak Oktober tahun 1904, salah satu yang tertua di dunia. Ia setia melayani the New Yorker 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Ia tak mengecewakan. Dan begitulah pengalamanku pagi ini, sampai di Wall Street just right in time.

Aku memasuki lobinya yang megah, persis menghadap puing-puing World Trade Center yang runtuh tahun 2001 silam. Kepala perwakilan LSM yang mengundangku menyapa dengan ramah, sembari mengantarku ke ruang konferensi. Satu jam lagi presentasiku akan dimulai, membahas tentang motivational economics, social entrepreneurship dan menggugah kesadaran untuk berani memulai perubahan. Aku akan berbicara di sela-sela 12 pembicara lainnya, dari Peru, Argentina, Israel, Rusia dan China.

Di hotel ini pula biasanya perwakilan pemerintah Indonesia menggelar acara Indonesia Investment Day, panggung kelak-kelok potensi tanah air yang bisa dibeli oleh orang asing, dengan ganjaran hilangnya kesempatan warga pribumi untuk duduk berkepala tegak sebanding dengan para bule-bule itu. Hasil yang selalu dibanggakan sebagai kesuksesan diplomasi dengan meningkatnya FDI (foreign direct investment), salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Demikianlah paradox yang terjadi, tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan kali ini.

Di simpang Boradway dan Vesey Street, aku menanti senja sambil menyeruput kopi seharga 4.25 dollar. Kopinya mungkin dari Indonesia, krim nya dikirim dari Jerman dan gula nya dari Brazil. Hanya air nya saja yang dipompa dari tanah Amerika. Namun apa yang terjadi? Starbucks adalah signature milik Amerika, dan menyedot kantong penduduk seluruh dunia untuk Wall Street, jalan legendaris 3oo meter jauhnya dari tampatku duduk.  Mecca-nya kapitalisme sebagai agama baru dunia. Dengan altarnya bernama NYSE dan tuhannya yang berwarna hijau pujat, the Bucks. Tapi, bukan soal kapitalisme pula yang ingin aku ceritakan kali ini.

Menjelang senja, rupanya banyak orang yang rehat ngopi sejenak, hingga kedai ini pun cukup penuh sesak. Duduk di meja bar, aku membuka-buka buku New York City Rough Guide-ku, mencari rute jalan kaki terpendek menuju Battery Park setelah ini. Melihat siluet Liberty Statue di kejauhan, dengan latar belakang semburat jingga kebiruan langit pelabuhan New York adalah romantisme yang ingin aku dapatkan dari negeri yang jauhnya separuh bumi dari tanah air ini.

Hey, are u tourist?” tiba-tiba suara seseorang membuyarkan keping-keping senja di pelabuhan New York dari kepalaku. Pasti ia melihatku membawa Rough Guide, kitab sucinya para pelancong, maka demikianlah identitasku terbaca.

Yeah, I am a visitor” jawabku singkat tanpa menoleh.

And where are you from, if I may ask?”  Ia melanjutkan pertanyaannya. Dalam hatiku menggumam, Yea rite, you have just did it!

I’m from Indonesia and I’m not really a tourist. I am attending a conference next door”. Sambil menjawab, aku baru menyadari bahwa orang ini bertampang asia, sama seperti aku. Salah satu dari inferiority complex syndrome  kaum minoritas yang aku pelajari, mereka memang akan mencari ras atau ciri-ciri fisik orang yang sama untuk dijadikan lawan bicara. Dan benar saja.

“Oh begitu, saya juga”.

Satu segmen sandiwara semesta telah mempertemukan aku dengan Ananda, di sini. Di kedai kopi pojokan jalan yang pintunya terhalang scaffolding renovasi gedung sebelah. Begitulah, traveling mengajarkanku menerima kejutan-kejutan alam semesta. Beacon yang memberi kode ke arah terang, the light. Light of the travel light.

Abraham Lincoln - the Founding Father
Abraham Lincoln – the Founding Father
The Lincoln Memorial terrace, overlooking the Washington Monument at the far end.
The Lincoln Memorial terrace, overlooking the Washington Monument at the far end.
Sunset at NY Harbour, with the Liberty Statue at the background.
Sunset at NY Harbor, with the Liberty Statue at the background.
Battery Park - place whre tranquility and bustling metropolis collide.
Battery Park – place where tranquility and bustling metropolis collide.
New York City Metro Subway - serving since 1904.
New York City Metro Subway – serving since 1904.

Leave a comment